BAB I
A. Latar Belakang Munculnya Good Corporate Governance (GCG)
Mulai populernya istilah “tata kelola perusahaan yang baik” atau yang lebih dikenal dengan istilah asing good corporate governance (GCG) tidak dapat dilepaskan dari maraknya skandal perusahaan yang menimpa perusahaan-perusahaan besar, baik yang ada di Indonesia maupun yang ada di Amerika Serikat.
Runtuhnya system ekonomi komunis menjelang akhir abad ke-20, menjadikan system ekonomi kapitalis sebagai satu-satunya system ekonomi yang paling dominan di seluruh dunia. System ekonomi kapitalis makin kuat mengakar berkat arus globalisasi dan perdagangan bebas yang mampu dipaksakan oleh Negara-negara maju penganut system ekonomi kapitalis. Ciri utama system ekonomi kapitalis adalah kegiatan bisnis dan kepemilikan perusahaan dikuasai oleh individu-individu/ sector swasta. Dalam perjalanannya, beberapa perusahaan akan muncul sebagai perusahaan-perusahaan swasta raksasa yang bahkan aktivitas dan kekuasaannya telah melibihi batas-batas suatu Negara. Para pemilik dan pengelola kelompok perusahaan-perusahaan raksasa ini bahkan mampu mempengaruhi dan mengarahkan berbagai kebijakan yang diambil oleh para pemimpin politik suatu Negara untuk kepentingan kelompok perusahaan mereka dengan kekuatan uangnya.
Sebagiman dikatakan oleh Joel bajan (2002), perusahaan (korporasi) saat ini telah berkembang dari sesuatu yang relative tidak tidak jelas menjadi institusi ekonomi dunia yang amat dominan. Kekuatan dan pengaruh perusahaan ini sedemikian besarnya sehingga telah menjelma menjadi “monster raksasa” yang mendikte hampir seluruh hidup kita, mulai dari apa yang kia pakai, apa yang kita hasilkan dan apa yang kita kerjakan. Itulah sebabnya, sering kali terjadi pemerintah suatu Negara yang seharusnya menjadi kekeuatan terakhir sebagai pengawas, penegak hokum, dan pengendali perusahaan-perusahaan tidak berdaya menghadapi penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang berpengaruh tersebut.
Sistem perbankan di Indonesia yang pada akhirnya menimbulkan krisis ekonomi, politik, dan sosial yang sangat kompleks.Beberapa perusahaan besar di Indonesia ada yang bermasalah dan bahkan tidak mampu lagi meneruskan kegiatan usahanya akibat menjalankan praktik tata kelola kerja yang buruk (bad corporate governance).Contohnya antara lain: bank-bank pemerintah yang telah dilikuidasi/demerger (Bank Pembangunan Indonesia-Bapindo, Bank Dagang Negara- BDN, Bank Bumi Daya- BBD, Bank Export Import- Bank Exim); PT Indorayon (Sebuah pabrik kertas di Sumatra Utara); PT Dirgantara Indonesia (Sebuah pabrik pesawat terbang yang berkantor pusat di Bandung); dan PT Lapindo Brantas (Sebuah pabrik eksplorasi minyak dan gas di Sidoarjo,Jawa Timur). Kejatuhan bank pemerintah pada awal abad ke-21 ini lebih disebabkan oleh kebijakan ekspansi kredit direksi bank tersebut yang tidak bijaksana (imprudential credit policy). Kredit diberikan dalam jumlah besar kepada beberapa kelompok usaha besar tanpa melalui suatu kajian yang cermat dan objektif atas studi kelayakan mereka.Akibatnya,bank-bank pemerintah tersebut mengalami kesulitan keuangan karena kelompok usaha besar ini tidak mampu mengembalikan pinjaman dan bunganya.
Kebangkrutan PT Indorayon, sebuah perusahaan pabrik kertas yang tergolong besar,lebih disebabkan oleh tata kelola yang buruk oleh perusahaan tersebut dalam mengelolah hutan pinus di sekitar danau Toba yang menjadi sumber utama bahan baku kertas perusahaan ini.Akibat pengelolahan hutan pinus yang buruk itu telah menimbulkan kerusakan lingkungan htan dan mengganggu system tata air disekitar danau Toba.Permukaan air danau Toba sempat mengalami penurunan tajam sehingga memengaruhi penghasilan masyarakat ternak ikan di sekitar danau Toba.Masyarakat sekitar danau Toba menjadi marah dan mereka menghentikan secara paksa aktivitas perusahaan di sekitar danau Toba tersebut.Akibatnya,PT Indorayon tidak dapat beroperasi karena hubungan yang tidak baik dengan masyarakat di sekitar lokasi pasokan bahan baku.
Hal yang sama terjadi pada kasus PT Lapindo Brantas. Kecerobohan PT Lapindo Brantas dalam melakukan eksplorasi minyak dan gas di Sidoarjo bukan saja menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup pada area yang sangat luas,tetapi juga mematikan sumber pencarian sebagaian besar masyarakat di daerah yang tercemar tersebut.Hal ini dapat saja menimbulkan potensi tuntutan hukum dari masyarakat,yang pada gilirannya dapat mengancam keberadaan perusahaan.
Pada intinya,timbulnya krisis ekonomi di Indonesia ini disebabkan oleh tata kelola perusahaan yang buruk (bad corporate governance) dan tata kelola pemerintahan yang buruk pula (bad government governance) sehingga memberi peluang besar timbulnya praktik-praktik korupsi,kolusi,dan nepotisme (KKN).Hal ini dapat ditunjukan pada beberapa fakta berikut :
a. Mudahnya para spekulan mata uang untuk mempermainkan pasar valuta asing karena tidak adanya alat kendali yang efektif.Sifat para spekulan ini selalu mementing diri sendiri tanpa peduli kepentingan masyarakat ataupun Negara.
b. Mudahnya para konglomerat memperoleh dana pinjaman dari perbankan.Hal ini dimungkinkan karena para konglomerat itu sekaligus juga menjadi pemilik bank-bank swasta ternama.Melalui rekayasa studi kelayakan dan laporan keuangan, para konglomerat ini menarik pinjaman dari bank miliknya untuk membiayai proyek-proyek usaha yang masih berada dalam kelompok usahanya. Para direksi bank ini tidak dapat bersikap independen karena ditempatkan di bank tersebut oleh para konglomerat tersebut. Para konglomerat ini banyak yang sekaligus merangkap fungsi sebagai pemegang saham,komisaris,dan direksi di kelompok usaha mereka.
c. Banyak direksi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) termasuk di bank-bank pemerintah juga tidak independen. Dalam mengambil berbagai kebijakan selalu ada campur tangan dari oknum pejabat pemerintahan,Hal ini tidak mengherankan karena para direksi ini sering kali merupakan kepanjang tangan kepentingan kelompok oknum pejabat tertentu.Kalaupun mereka bersifat professional,mereka sering mendapat tekanan oknum pejabat.
d. Para komisaris di BUMN sering kali bukan orang yang professional, melainkan oknum-oknum birokrasi yang telah memasuki usia pension. Mereka ditempatkan bukan karena kemampuan dan pengalaman mereka dalam mengelola perusahaan,tetapi lebih karena sekedar balas jasa setelah memasuki usia pension.
e. Banyaknya profesi yang terkait dengan kegiatan bisnis ini- seperti: akuntan publik,perusahaan penilai,konsultan keuangan,dan sebagainya- yang mudah diajak bekerja sama untuk merekayasa laporan audit,laporan keuangan,dan laporan penilaian harta (asset) perusahaan untuk berbagai keperluan- seperti: tender,aplikasi kredit bank,penerbitan saham di bursa,dan sebagainya.
f. Pada saat timbul krisis moneter,Bank Indonesia mengucurkan dana berupa bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mencapai triliunan rupiah kepada sector perbankan nasional dalam upaya membantu perbankan agar tidak ambruk akibat penarikan dana nasabah secara besar-besaran. Namun itikad baik BI ini banyak disalahgunakan oleh pemilik bank dengan memindahkan dana ini ke rekening pribadinya dan membiarkan bank mereka sendiri tetap ambruk. Kalaupun para pemilik bank ini mempunyai itikad baik,merka tidak mampu lagi untuk mengembalikan dana BLBI tersebut.Sampai saat ini belum ada penyelesaian tuntas tentang kasus BLBI ini.
BAB II
B. PENGERTIAN GCG
Walaupun istilah GCG dewasa ini sudah sangat popular,namun sampai saat ini belum ada definisi baku yang dapat disepakati oleh semua pihak. Istilah “corporate governance” pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee,Inggris di tahun 1922 yang menggunakan istilah tersebut dalam laporannya yang kemudian dikenal sebagai Cadbury Report (dalam Sukrisno Agoes,2006). Istilah ini sekarang menjadi sangat popular dan diberi banyak definisi oleh berbagai pihak.DIbawah ini diberikan beberapa definisi dari beerapa sumber yang dapat dijadikan acuan.
1. Cadbury Committee of United Kingdom:
“A set of rules that define the relationship between shareholders, managers, creditors, the government, employees, and other internal and external stakeholders in respect to their right and responsibilities,or the system by which companies are directed and controlled.”
[“Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham,pengurus perusahaan,pihak kreditur, pemerintah,karyawan,serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka; atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.”]
2. Forum of Corporate Governance in Indonesia – FCGI (2006) – tidak membuat definsi tersendiri tetapi mengambil definisi dari Cadbury Committee of United Kingdom,yang kalau diterjemahkan adalah: “ ….. seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham,pengurus perusahaan,pihak kreditur,pemerintah,karyawan,serta para pemegangan kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka; atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.”
3. Sukrisno Agoes (2006) mendefinisikan tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu sistem yang mengatur hubungan peran Dewan Komisaris, peran Direksi, pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan yang baik juga disebut sebagai suatu proses transparan atas penentuan tujuan perusahaan,pencapaiannya, dan penilaian kinerjanya.
4. Organization for Economic Coorperation and Development – OECD (dalam tjager dkk.,2004) – mendefinsikan GCG sebagai: “The structure through which shareholders,directors,managers,set of the board objectives of the company,the means of attaining those objectives and monitoring performance.” [“Suatu struktur yang terdiri atas para pemegang saham,direktur,manajer,seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan,dan alat-alat yang digunakan dalam mencapai tujuan dan memantau kinerja.”]
5. Wahyudi Prakasa (dalam Sukrino Agoes,2006) mendefinsikan GCG sebagai : “….. mekanisme administrative yang mengatur hubungan-hubungan antara manajemen perusahaan,komisaris,direksi,pemegang saham,dan kelompok-kelompok kepentingan (stakeholders) yang lain. Hubungan-hubungan ini dimanifestasikan dalam bentuk berbagai aturan permainan dan sistem insentif sebagai kerangka kerja (framework) yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan dan cara-cara pencapaian tujuan-tujuan serta pemantauan kinerja yang dihasilkan.”
Jadi Good governance dapat diartikan sebagai kepemerintahan yang baik atau penyelenggaraan pemerintahaan yang bersih dan efektif, sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku. Pemerintahan mencakup ruang lingkup yang luas, termasuk bidang politik, ekonomi dan sosial mulai dari proses perumusan kebijakan dan pengmbilan keputusan hingga pelaksanaan dan pengawasan. Political governance mengacu pada proses pembuat kebijakan.Economic governance mengacu pada proses pembuatan keputusan di bidang ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan, pemerataan, penurunan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup. Administrative governance berarti, bahwa penyelenggara setiap bidang dan tahapan pemerintahan harus dilakukan dengan bersih, efisien, dan efektif.
Dalam bahasa sederhana, governance berarti proses pengambilan keputusan dan proses pelaksanaan atau implementasinya. Secara umum dapat dikatakan, bahwa good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip : partisipasi maksimal dari semua pemangku kepentingan (stackholder), hukum da aturan (rule of law), transparansi, responsivitas, orientasi consensus, keadilan dan kewajaran, efisiensi dan efektivitas, akuntabilitas dan visi strategis.
C. KONSEP GCG.
Wadah
|
Organisasi (perusahaan, sosial, pemerintahan)
|
Model
|
Suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan, termasuk prinsip-prinsip, serta nilai-nilai yang melandasi praktik bsnis yang sehat.
|
Tujuan
|
- Meningkatkan kinerja organisasi
- Menciptakan nilai tambah bagi semua pemangku kepentingan
- Mencegah dan mengurangi manipulasi serta kesalahan yang signifikan dalam pengelolaan organisasi
- Meningkatkan upaya agar para pemangku kepentingan tidak dirugikan
|
Mekanisme
|
Mengatur dan mempertegas kembali hubungann, peran, wewenang, dan tanggung jawab :
- Dalam arti sempit : antar pemilik/ pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi.
- Dalam arti luas : antar seluruh pemangku kepentingan.
|
D. PRINSIP-PRINSIP GCG
Penggunaan prinsip good governance dalam dunia usaha disebut Good Corporate Governance (GCG). Dengan kata lain, bahwa dunia usaha harus juga membangun dan memelihara prinsip-prinsip good corporate governance yaitu : partisipasi, hukum dan aturan, transparasi, respontative, orientasi konsesus, keadilan dan kewajarana, efisiensi dan efektivitas, akuntabilitas dan visi strategis.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, konsep CGC memperjelas dan mempertegas mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan di dalam organisasi. The Organization for Economic Cooperation and Development(OECD) juga telah menciptakan prinsip-prinsip good corporate governancedengan harapan dapat dipergunakan sebagai bahan acuan internasional (internasional benchmark) bagi para perusahaan Negara, investor, perusahaan dan para stackeholder perusahaan (termasuk pemegang saham, baik Negara-negara anggota OECD maupun bagi Negara non-anggota. Harapan OECD menyajikan bahan acuan internasional tersebut telah membawa hasil. Pada tahun 2004 Donald J.Johson, OECD Secretary General mengutarakan, sejak beberapa tahun terakhir para pengusaha, pemerintahan dan madyarakat bisnis di banyak Negara mulai menyadari bahwa good corporate governance dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap stabilitas perkembangan pasar modal, iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Prinsip-prinsip governance yang diterbitkan OECD itu mencakup hal-hal berikut :
1. Landasan hukum yang diperlukan untuk menjamin penerapan good corporate governance secara efektif (ensuring the basis for an effective corporate governance framework); menurut OECD apabila pemerintah suatu negara menginginkan prinsip-prinsip good corporate governance diterapkan secara efektif dinegaranya, mereka wajib membangun landasan hukum yang memungkinkan hal itu terjadi. Tanpa landasan hukum yang kuat salah satu tujuan utama good corporate governance, yaitu melindungi hak dan kepentingan para pemegang saham dan stakeholders yang lain sulit dilaksanakan. Landasan hukum tersebut antara lain berupa penciptaan (a) Undang-undang tentang perseroan terbatas (corporate laws), (b) Undang-undang perburuhan, (c) Undang-undang tentang kredit perbankan, (d) Ketentuan tentang standar akuntansi keuangan dan standar audit, (e) Syarat dan prosedur pendaftaran saham perusahaan di bursa efek.
OECD menyarankan dalam menyusun undang-undang atau ketentuan hukum lain yang bersangkutan dengan penerapam prinsip good corporate governance, pemerintah hendaknya melakukan komunikasi dan konsultasi dengan perusahan-perusahaan lokal. Di samping itu pemerintah negara yang menerapkan prinsip-prinsip good corporate governace disarankan memonitor penerapan prinsip-prinsip tersebut di dunia bisnis negaranya.
2. Hak pemegang saham dan fungsi pokok kepemilikan perusahaan (the rights of shareholders and key ownership function); para pemegang saham mempunyai hak-hak tertentu. OECD menyarankan hak-hak tersebut dilindungi, baik secara hukum maupun oleh masing-masing perusahaan.
3. Perlakuan yang adil terhadap para pemegang saham (the equiptable treatment of shareholders); perusahaan wajib menjamin perlakuan yang adil terhadap semua pemegang saham perusahaan, termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing. Pemegang jenis saham yang sama (misalnya saham biasa) wajib mendapat jaminan memperoleh pelakuan yang sama. Dalam kaitannya dengan perlakuan adil itu sebelum menjadi saham yang diperdagangkan di bursa efek, setiap investor berhak mendapatkan informasi tentang hak dan perlindungan terhadap saham yang akan mereka beli.
4. Peranan the stakeholders dalam corporate govarnance (the role of stakeholders in corporate governance); OECD juga menyarankan adanya perlindungan hak dan kepentingan para anggota the stakeholders non pemegang saham. Hal itu disebabkan karena keberhasilan operasi bisnis perusahaan ditentukan oleh hasil kerjasama para anggota stakeholders, termasuk para pemegang saham, karyawan, kreditur pelanggan, dan para pemasok layanan jasa, baha baku, dan bahan pembantu.
5. Prinsip pengungkapan informasi secara transparan (disclosure and transparency);Prinsip good corporate governance lain yang disosialisasikan OECD kepada negara-negara anggota dan negara-negara non-anggota adalah pengungkapan informasi perusahaan secara transparan. Menurut OECD Board of Directors perusahaan wajib melaporkan kepada pemegang saham secara akurat, transparan dan tepat waktu, hal-hal yang bersangkutan dengan kondisi keuangan, perubahan kepemilikan, kinerja bisnis dan hal-hal penting lainnya yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan.
6. Tanggung jawab Dewan Pengurus (the responsibilities of the Board); Tanggung jwab dewan pengurus, organisasi dewan pengurus atau Board of Directors di banyak negara terdiri dari dua lapis. Di Indonesia lapis pertama disebut dewan komisaris, sedangkan lapis kedua disebut direksi, lapis pertama Board of Directors berfungsi sebagai pengarah dan pengawas jalannya operasi bisnis perusahaan dan kinerja direksi. Sedeangkan fungsi utama lapis kedua Board of Directors adalah mengelola harta, utang dan kegiatan bisnis perusahaan sehari-hari. Board of Directors bertanggung jawab atas kepatuhan perusahaan yang mereka kelola terhadapa undang-undang atau ketentuan hukum yang berlaku, termasuk undang-undang perpajakan, perburuhan, persaingan, perkreditan, lingkungan hidup secara lebih rinci fungsi dan tanggung jawab Board of Directors dalam kerangka corporate governance.
Adapun prinsip Corporate governance yang diterbitkan oleh OECD dalam hubungannya dengan tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Menteri Negara BUMN juga mengeluarkan keputusan Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan GCG (Tjager dkk., 2003). Ada lima prinsip menurut keputusan ini, yaitu :
a) Kewajaran (fairness)
b) Tranparansi
c) Akuntabilitas
d) Pertanggungjawaban
e) Kemandirian
Tranparansi berarti keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dalam mengemukakan informasi mengenai perusahaan. Kemandirian berarti pengelolaan perusahaan secara prosfesional sesuai dengan peraturan perundang-undangan tanpa benturan kepentingan dan tekanan dari pihak lain. Akuntabilitas berarti memberikan pelaporan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas secara periodic, termasuk mengenai penggunaan dan sumber-sumber dana. Kewajaran (fairness) berarti keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak masing-masing stakeholders sesuai kontribusi yang diberikan kepada perusahaan, serta perjanjian dengan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan kriteria tersebut, penerapan GCG di lingkungan BUMN diharapkan dapat mencapai tujuan perusahaan :
a) Memaksimalkan nilai BUMN;
b) Mendorong pengelolaan BUMN secara professional;
c) Mendrong proses pengambilan keputusan berlandakan nilai moral yang tinggi, kepatuhan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku, pertanggungjawaban social kepada semua stakeholders, dan kelestarian lingkungan hidup;
d) Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional;
e) Meningkatkan investasi nasional;
f) Mensukseskan program privatisasi.
E. TUJUAN GCG
GCG bukanlah seata-mata persoalan membentuk organ-organ perusahaan seperti komisaris independen dan komite audit, tapt GCG adalah sebagaimana menciptakan pengelolaan perusahaan yang professional melalui penerapan system akunting dan keuangan yang memenuhi standar serta bagaimana manajemen dilengkapi dengan system teknologi informasi yang mendukung operasional perusahaan.
Good corporate governance mempunyai 5 tujuan utama yaitu :
a) Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham;
b) Melindungi hak dan kepentingan stakeholders lainnya;
c) Meningkatkan nilai saham dan perusahaan;
d) Meningkatkan kinerja Dewan Komisaris dan Manajemen;
e) Meningkatkan mutu hubungan Dewan Komisaris dan Manajemen.
Semua kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan diselEnggarakan dengan sIstem pengendalian internal yang mencakup :
a) Pengendalian terstruktur terrdiri atas :
1. Intergritas, nilai etika dan kompetensi karyawan
2. Filosofi dan gaya manajemen
3. Keseimbangan tanggung jawab dan kewenangan
4. Pengembangan sumberdaya manusiwa
5. Arahan dari direksi
b) Pengkajian dan pengelolaan resiko Usaha;
c) Pengendalian menyeluruh di setiap unit, aspek dan tingkatan;
d) Ketaatan pada peraturan dalam pelaksanaan, pelaporan dan pertanggungjawaban;
e) System monitoring dengan dukungan audit internal.
F. MANFAAT GCG
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, tujuan penerapan GCG adalah untuk meningkatkan kinerja organisasi serta mencegah atau memperkecil peluang praktik manipulasi dan kesalahan signifikan dalam pengelolaan kegiatan organisasi. Tjager dkk (2003) mengatakan bahwa paling tidak ada lima alasa mengapa penerapan GCG itu bermanfaat, yaitu :
1. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh McKinsey&Company menunjukan bahwa para investor institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan-perusahaan di Asia yang telah menerapkan GCG.
2. Berdasarkan berbagai analisis, ternyata ada indikasi keterkaitan antara terjadinya krisis finansial dan krisis berkepanjangan di Asia dengan lemahnya tata kelola perusahaan.
3. Internasioanlisasi pasar termasuk liberalisasi pasar finansial dan pasar modal menuntut perusahaan untuk menerapkan GCG.
4. Kalaupun GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis, system ini dapat menjadi dasar bagi berkembangnya system nilai baru yang lebih sesuai dengan lanskap bisnis yang kini telah banyak berubah.
5. Secara teoretis, praktik GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Indra Surya dan Ivan yustiavandana (2007) mengatakan bahwa tujuan dan manfaat dari penerapan GCG adalah :
1. Memudahkan askes terhadap investasi domestic maupun asing
2. Mendapatkan biaya modal (cost of capital) yang lebih murah
3. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi perusahaan
4. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari para pemangku kepentingan terhadap perusahaan
5. Melindungi direksi dan komisaris dari tuntunan hukum.
G. ORGAN KHUSUS DALAM PENERAPAN GCG
Meskipun ketentuan mengenai organ perseroan telah diatur dalam undang-undang perseroan terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dan selanjutnya dituangkan kembali di dalam anggaran dasar perseroan, namun dalam praktiknya organ ini belum mampu menjamin terselenggaranya tata kelola perusahaan yang sehat. Hal ini karena sifat undang-undang mengatur ketentuan-ketentuan secara garis besar saja sehingga ada ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yang memerlukan petunjuk pelaksanaan (juklak) atau petunjuk teknis (juknis) lebih lanjut dalam bentuk peraturan dan pedoman yang dil\keluarkan pleh instansi pemerintah yang berwenang serta institusi atau organisasi prosfesi terkait.
Indra Surya dan Ivan Yustiavananda (2006) meneyebutkan paling tidak diperlukan organ tambahan untuk melengkapi penerapan GCG, yaitu :
· Komisaris dan Direktur Independen
Komisaris dan direktur independen ialah seseorang yang ditunjuk untuk mewakili pemegang saham independen (pemegang saham minoritas). Sebagaiman diatur dalam undang-undang perseroan \, anggota Direksi dan Komisaris diangkat dan diberhentikan oleh RUPS, sedangkan keputusan yang diambil dalam RUPS didasarkan atas perbandingan jumlah suara para pemegang saham.
· Komite Audit
Undang-undang Perseroan Terbatas Pasal 121 memungkinkan Dewan Komisaris untuk membentuk komite tertentu yang dianggap perlu untuk membantu tugas pengwasan yang diperlukan. Salah satu komite tambahan yang kini banyak muncul untuk membantu fungsi Dewan komisaris adalah Komite Audit. Munculnya Komite Audit ini barang kali disebabkan oleh kecenderungan makin meningkatnya berbagai skandal penyelewengan dan kelalaian yang dilakukan oleh para direktur dan komisaris perusahaan besar baik yang terjadi di AS maupun Indonesia yang menandakan kurang memadainya fungsi pengawasan.
Sebagaimana dinyatakan oleh Hasnati (dalam Indra Surya dan Ivan Yustiavanadana,2006), tugas, tanggung jawab, dan wewenang Komite Audit adalah membantu Dewan Komisaris, antara lain :
1. Mendorong terbentuknya struktur pengendalian intern yang memadai (prinsip tanggung jawab);
2. Meningkatkan kualitas keterbukaan dan laporan keuangan (prinsip transparasi);
3. Mengkaji ruang lingkup dan ketepat audit eksternal, kewajaran biaya audit ekternal, serta kemandirian dan objektivitas audit eksternal (prinsip akuntabilitas);
4. Mempersiapkan surat uraian tugas dan tanggung jawab komite audit selama tahun buku yang sedang diperiksa eksternal audit (prinsip tanggung jawab).
· Sekretaris Perusahaan
Jabatan sekretaris perusahaan menempati posisi yang sangat tinggi dan strategis karena orang dalam jabatan ini berfungsi sebagai penghubung (liason officer) atau semacam public relation/investor relation antara perusahaan deng pihka luar perusahaan, khususnya bagi perusahaan-perusahaan besar yang telah mendaftarkan sahamnya di bursa.
BAB III
CONTOH KASUS
Dugaan Korupsi VLCC
Mantan komisaris Pertamina yang saat ini menjabat Deputi Menteri Negara BUMN, Roes Aryawijaya kembali diperiksa penyidik bagian Tindak Pidana Khusus kejaksaan agung sebagai saksi dugaan korupsi dalam penjualan kapal tanker raksasa atau very large crude carrier (VLCC) Pertamina.
Seusai pemeriksaan, Roes yang ditanya wartawan soal keputusan penjualan dua kapal tanker raksasa Pertamina tahun 2004 itu menjawab, “Penjualan tersebut sebenarnya ususlan Direksi Pertamina. Oleh Komisaris dikaji dan dilihat. “kan kalau tidak dijual perusahaannya bangkrut”, kata Roes. Keputusan menjual VLCC itu melibatkan seluruh direksi dan komisaris Pertamina. Dalam siaran pers yang dikeluarkan Pusat Penerbangan Hukum Kejaksaan Agung, disebutkan bahwa direksi Pertamina bersama Komisaris Utama Pertamina, tanpa persetujuan Menteri Keuangan pada 11 Juni 2004 telah melakukan divestasi dua tanker VLCC milik Pertamina nomor Hull 1540 dan 1541 kepada Frontline dengan harga US$184 juta.
Hal tersebut bertentangan dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 1991 Pasal 12 ayat 1 karena persetujuan Menteri Keuangan baru terbit 7 Juli 2004. Secara terpisah, Jaksa Agung Henarman Supandji menyatakan bahwa tersangka kasusu dugaan korupsi penjualan VLCC itu ternyata banyak dari yang semula disebutkan.
Sumber : Kompas, 3 Oktober 2007
KESIMPULAN
Good governance dapat diartikan sebagai kepemerintahan yang baik atau penyelenggaraan pemerintahaan yang bersih dan efektif, sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku. Pemerintahan mencakup ruang lingkup yang luas, termasuk bidang politik, ekonomi dan sosial mulai dari proses perumusan kebijakan dan pengmbilan keputusan hingga pelaksanaan dan pengawasan.Political governance mengacu pada proses pembuat kebijakan. Economic governance mengacu pada proses pembuatan keputusan di bidang ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan, pemerataan, penurunan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup. Administrative governance berarti, bahwa penyelenggara setiap bidang dan tahapan pemerintahan harus dilakukan dengan bersih, efisien, dan efektif.
Adapun prinsip Corporate governance yang diterbitkan oleh OECD dalam hubungannya dengan tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Menteri Negara BUMN juga mengeluarkan keputusan Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan GCG (Tjager dkk., 2003). Ada lima prinsip menurut keputusan ini, yaitu :
a) Kewajaran (fairness)
b) Tranparansi
c) Akuntabilitas
d) Pertanggungjawaban
e) Kemandirian
Indra Surya dan Ivan yustiavandana (2007) mengatakan bahwa tujuan dan manfaat dari penerapan GCG adalah :
1. Memudahkan askes terhadap investasi domestic maupun asing
2. Mendapatkan biaya modal (cost of capital) yang lebih murah
3. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi perusahaan
4. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari para pemangku kepentingan terhadap perusahaan
5. Melindungi direksi dan komisaris dari tuntunan hukum.
Banyak sudah terjadi kejahatan ekonomi dan kecurangan bisnis yang dilakukan oleh banyak korporasi atau pelaku bisnis dan ekonomi yang telah merugikan warga negara, masyarakat bahkan merugikan Negara, setidaknya dalam segi finansial (pajak) dan kepercayaan public terhadap peranan Negara (pemerintah) dalam mengawasi dinamika ekonomi, khususnya proses produksi, eksplorasi, dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam dan pelestarian lingkungan hidup. Fenomena ini terjadi karena banyak korporasi, terutama para pimpinanya tidak memiliki komitmen yang kuat untuk memberantas kejahatan bisnis. Penyelewengan, penyalahgunaan otoritas, korupsi, dan kolusi juga sulit diatasi. Penipuan sistematis terhadap masyarakat yang dilakukan beberapa pebisnis juga sering terjadi.
SARAN
Untuk mengatasi kejahatan bisnis/ ekonomi yang terjadi seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang telah melahirkan revolusi industry perdagangan, perbankan dan khusunya korporasi, dalam skala global, sebaiknya semua Negara memperkuat komitmen politiknya untuk lebih memartabatkan kegiatan ekonomi dan bisnis. Dengan begitu, kemakmuran dan kesejahteraan dapat terwujud. Selain itu perlu juga diperkuat komitmen moralnya untuk tetap konsisten menjalankan sebuah misi penting, yaitu mewujudkan keadilan, kebenaran, kejujuran, penegak hokum, penegak etika dan peningkatan ras kompetensi secara fair rasional dan berkemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
1. Agoes, sukrisno & Ardana, I Cenik. 2009. Etika Bisnis dan Profesi : Tantangan Membangun Manusia Seutuhnya. Jakarta: Salemba Empat.
2. Arijanto, Agus. 2011. Etika Bisnis dan Profesi. Bahan ajar tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang.
3. Pieris, John & Wiryawan, N J. 2007. Etika Bisnis dan Good Corporatr Governance. Jakarta: Pelangi Cendekia.
Sumber :http://nadyarachmanita.blogspot.com/2015/06/v-behaviorurldefaultvmlo.html